Pemerintah dan Sepak Bola: Tanda Ketidakpedulian yang Mengkhawatirkan
Saya sering menjadi sasaran bully di media sosial karena kritik saya terhadap praktik naturalisasi pemain sepak bola Indonesia. Sebenarnya, saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Pro-kontra dan bully-membully di era media sosial ini bisa terjadi pada siapa saja. Namun, saya terkejut melihat betapa marahnya orang-orang terhadap kritik saya. Hasrat yang begitu besar untuk melihat tim nasional Indonesia berprestasi di pentas internasional membuat mereka tak rela ada yang mempertanyakan langkah-langkah yang dianggap dapat meningkatkan prestasi tim.

Sepak bola telah menjadi bagian penting dari peradaban global, dan banyak yang percaya bahwa segala cara harus dilakukan untuk meraih kejayaan, termasuk merekrut pemain internasional yang memiliki darah Indonesia untuk dinaturalisasi. Ketua PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan regulasi FIFA untuk melakukan proses ini. Melalui media sosial, saya menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap cara-cara instan dalam meraih prestasi.

Saya masih percaya bahwa lebih baik mendidik anak-anak berbakat dari seluruh pelosok negeri agar mereka bisa tumbuh menjadi pemain hebat. Namun, pandangan idealis ini mulai goyah setelah berbincang dengan sahabat lama, Nirwan Bakrie, dan Menpora R.I. Dito Ariotedjo. Nirwan, yang telah berpuluh-puluh tahun berkontribusi untuk sepak bola Indonesia, berpendapat bahwa naturalisasi adalah langkah paling logis untuk meningkatkan prestasi saat ini. Ia mengakui idealisme saya, tetapi menjelaskan bahwa realitas yang dihadapi jauh dari harapan.

Kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini menyulitkan kita untuk menemukan pemain-pemain hebat secara berkelanjutan. Meskipun pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembinaan olahraga, banyak yang tidak sampai ke PSSI dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik. PSSI telah lama mandiri dalam membiayai aktivitasnya, termasuk pembinaan talenta baru.

Politik anggaran yang tidak memprioritaskan olahraga, terutama dalam jangka panjang, menjadi tantangan besar. Pembibitan atlet harus dimulai dari institusi pendidikan, tetapi selama beberapa tahun terakhir, perhatian pemerintah lebih pada olahraga yang memiliki potensi prestasi jangka pendek. Selain itu, meskipun sepak bola mudah diakses, untuk mencapai taraf profesional, dibutuhkan fasilitas yang memadai, yang memerlukan komitmen serius dari semua level pemerintahan.

Kehadiran pemimpin negeri di stadion saat pertandingan tim nasional memang baik, tetapi kita memerlukan lebih dari itu. Pemerintah harus memastikan kompetisi berjalan lancar dan aman, serta kesejahteraan para pelaku sepak bola terjamin. Jika tidak, "para penguasa dunia gelap" akan mengambil alih, dan pemain muda berbakat akan terpinggirkan.

Ada harapan dari anak-anak dan cucu warga Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan di negara-negara dengan peradaban sepak bola yang maju. Mereka bisa kembali dan memperkuat tim nasional. Dari semua penjelasan ini, saya mulai memahami bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi tim nasional, sekaligus mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sepak bola kita.

**Surat Menpora untuk Peter F. Gontha**

Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha,

Terima kasih atas tulisan Bapak mengenai sepak bola. Kami menghargai perhatian dan dedikasi Bapak terhadap isu ini, serta pemikiran kritis yang Bapak sampaikan. Izinkan kami memberikan beberapa tanggapan untuk diskusi lebih lanjut.

Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, termasuk sepak bola, yang tercermin dalam alokasi anggaran dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda menjadi fokus dalam beberapa Permenpora dan Instruksi Presiden. Kebijakan naturalisasi bukan pengganti pembinaan, melainkan strategi komplementer untuk meningkatkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada dana khusus untuk proses naturalisasi; alokasi hanya untuk riset potensi atlet diaspora.

Kedua, terkait klaim bahwa anggaran "tersesat," kami perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan langsung kepada cabang olahraga terkait, termasuk sepak bola, dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Tentu, mekanisme ini masih bisa diperbaiki agar lebih tepat sasaran.

Ketiga, kami sepakat bahwa pembinaan adalah solusi utama untuk masa depan sepak bola yang berkelanjutan. Hasil dari pembinaan tidak instan, melainkan membutuhkan waktu dan kesabaran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersinergi dalam proses pembinaan, dari level akar rumput hingga profesional.

Kami menghargai pandangan dan masukan Bapak, dan berharap dapat terus berdiskusi untuk mencari solusi terbaik bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Terima kasih atas perhatian Bapak dalam isu ini.

Peter Gontha, Mantan Dubes RI untuk Polandia.

Pemerintah dan Sepak Bola: Tanda Ketidakpedulian yang Mengkhawatirkan

Pemerintah dan Sepak Bola: Tanda Ketidakpedulian yang Mengkhawatirkan
Saya sering menjadi sasaran bully di media sosial karena kritik saya terhadap praktik naturalisasi pemain sepak bola Indonesia. Sebenarnya, saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Pro-kontra dan bully-membully di era media sosial ini bisa terjadi pada siapa saja. Namun, saya terkejut melihat betapa marahnya orang-orang terhadap kritik saya. Hasrat yang begitu besar untuk melihat tim nasional Indonesia berprestasi di pentas internasional membuat mereka tak rela ada yang mempertanyakan langkah-langkah yang dianggap dapat meningkatkan prestasi tim. Sepak bola telah menjadi bagian penting dari peradaban global, dan banyak yang percaya bahwa segala cara harus dilakukan untuk meraih kejayaan, termasuk merekrut pemain internasional yang memiliki darah Indonesia untuk dinaturalisasi. Ketua PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan regulasi FIFA untuk melakukan proses ini. Melalui media sosial, saya menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap cara-cara instan dalam meraih prestasi. Saya masih percaya bahwa lebih baik mendidik anak-anak berbakat dari seluruh pelosok negeri agar mereka bisa tumbuh menjadi pemain hebat. Namun, pandangan idealis ini mulai goyah setelah berbincang dengan sahabat lama, Nirwan Bakrie, dan Menpora R.I. Dito Ariotedjo. Nirwan, yang telah berpuluh-puluh tahun berkontribusi untuk sepak bola Indonesia, berpendapat bahwa naturalisasi adalah langkah paling logis untuk meningkatkan prestasi saat ini. Ia mengakui idealisme saya, tetapi menjelaskan bahwa realitas yang dihadapi jauh dari harapan. Kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini menyulitkan kita untuk menemukan pemain-pemain hebat secara berkelanjutan. Meskipun pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembinaan olahraga, banyak yang tidak sampai ke PSSI dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik. PSSI telah lama mandiri dalam membiayai aktivitasnya, termasuk pembinaan talenta baru. Politik anggaran yang tidak memprioritaskan olahraga, terutama dalam jangka panjang, menjadi tantangan besar. Pembibitan atlet harus dimulai dari institusi pendidikan, tetapi selama beberapa tahun terakhir, perhatian pemerintah lebih pada olahraga yang memiliki potensi prestasi jangka pendek. Selain itu, meskipun sepak bola mudah diakses, untuk mencapai taraf profesional, dibutuhkan fasilitas yang memadai, yang memerlukan komitmen serius dari semua level pemerintahan. Kehadiran pemimpin negeri di stadion saat pertandingan tim nasional memang baik, tetapi kita memerlukan lebih dari itu. Pemerintah harus memastikan kompetisi berjalan lancar dan aman, serta kesejahteraan para pelaku sepak bola terjamin. Jika tidak, "para penguasa dunia gelap" akan mengambil alih, dan pemain muda berbakat akan terpinggirkan. Ada harapan dari anak-anak dan cucu warga Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan di negara-negara dengan peradaban sepak bola yang maju. Mereka bisa kembali dan memperkuat tim nasional. Dari semua penjelasan ini, saya mulai memahami bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi tim nasional, sekaligus mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sepak bola kita. **Surat Menpora untuk Peter F. Gontha** Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha, Terima kasih atas tulisan Bapak mengenai sepak bola. Kami menghargai perhatian dan dedikasi Bapak terhadap isu ini, serta pemikiran kritis yang Bapak sampaikan. Izinkan kami memberikan beberapa tanggapan untuk diskusi lebih lanjut. Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, termasuk sepak bola, yang tercermin dalam alokasi anggaran dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda menjadi fokus dalam beberapa Permenpora dan Instruksi Presiden. Kebijakan naturalisasi bukan pengganti pembinaan, melainkan strategi komplementer untuk meningkatkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada dana khusus untuk proses naturalisasi; alokasi hanya untuk riset potensi atlet diaspora. Kedua, terkait klaim bahwa anggaran "tersesat," kami perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan langsung kepada cabang olahraga terkait, termasuk sepak bola, dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Tentu, mekanisme ini masih bisa diperbaiki agar lebih tepat sasaran. Ketiga, kami sepakat bahwa pembinaan adalah solusi utama untuk masa depan sepak bola yang berkelanjutan. Hasil dari pembinaan tidak instan, melainkan membutuhkan waktu dan kesabaran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersinergi dalam proses pembinaan, dari level akar rumput hingga profesional. Kami menghargai pandangan dan masukan Bapak, dan berharap dapat terus berdiskusi untuk mencari solusi terbaik bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Terima kasih atas perhatian Bapak dalam isu ini. Peter Gontha, Mantan Dubes RI untuk Polandia.

Comments

https://blog.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!